Ahhh!!!! Sudah lama rasanya tidak menikmati
suasana pasar tradisional yang riuh rendah. Enam orang calon guru Tamarin
sengaja meluangkan waktu satu minggu sekali menikmati lanskap Yogyakarta untuk
penyegaran kembali setelah melewati satu minggu kesibukan di sekolah. Plesiran
kali ini jatuh pada pilihan Pasar Kotagede.
Keinginan kami sesederhana itu.
Dua orang diantara kami yang memang asli
Kotagede sangat bersemangat menjadi pemandu. Empat orang diantara kami berasal
dari daerah yang berbeda-beda dan jelas bukan asli piyantun Jogja, sehingga bisa dibilang ini kali pertama kami blusukan ke Kotagede. Blusukan diawali
dari menyisir pasar Kotagede dan memuaskan diri berbelanja makanan yang kami
cari. Mengetahui berbagai makanan masa kecil kami ada di Pasar Kotagede cukup
membuat kami bahagia. Kami sengaja tidak memilih pergi pada saat Legi
(penanggalan Jawa) karena akan sangat padat di pasar ini. Pasar Kotagede hampir
selalu ramai baik pagi, siang, sore, atau malam hari. Pasar Kotagede cukup
nyaman dikunjungi, walau kami sedikit kesulitan untuk mencari lahan parkir
mobil.
Puas dengan nyangking tas-tas plastik yang berisi aneka makanan, blusukan kami lanjutkan ke Masjid Kotagede dan makam Raja-Raja Mataram. Sekitar pukul 09.00 WIB Masjid Kotagede dan Makam Raja-Raja Mataram cukup lengang. Terdapat beberapa pengunjung yang sedang menata diri menggunakan beskap/sorjan sebagai prasyarat memasuki makam raja Mataram, berdoa, mandi, poto pre-wedding, atau sekedar bercengkrama seperti kami sambil menikmati makanan yang kami beli di pasar. Kami kagum dengan arsitektur Komplek Masjid Kotagede dan Makam Raja Mataram Islam ini. Komplek ini sudah sering nampang dilatar iklan, video klip, maupun film. Kesan kuno dan klasik yang artistik cukup kental di sekitar komplek hingga rumah-rumah warga di sekitar komplek tersebut. Mata kami cukup termanjakan dengan kesan artistik tersebut yang membuat kami tidak henti-hentinya untuk mengabadikan lewat poto.
Makanan yang lebih modern seperti coklat juga
ada di Kotagede ini. “Chocolate Monggo” menjadi tujuan blusukan kami
selanjutnya. Suguhan open kitchen
pembuatan produk-produk Coklat Monggo menjadi hal yang menarik perhatian kami.
Bahkan pramuniaga Coklat Monggo meyakinkan kami bahwa coklat yang dijual di
toko ini tidak membuat gemuk karena produknya benar-benar diambil dari daging
buah yang terdapat pada biji coklat.
Plesiran ini membawa kepada kenangan ketika masa kanak-kanak. Kami yang calon guru ini merasa bersyukur masih bisa menikmati telo (ketela) yang sudah diolah menjadi beraneka rupa makanan. Dan ternyata konon ada nasehat sesepuh yang terilhami dari telo yaitu “dadiyo wong sing manut koyo telo” yang ternyata mengandung makna filosofis yang dalam. Ketela ini cukup fleksibel diolah menjadi bentuk makanan apapun, mulai dari thiwul hingga brownies yang tidak lenyap cita rasa ketelanya. Nasehat ini mengajarkan kita menjadi manusia yang fleksibel yang tidak kehilangan jati dirinya. Agaknya kearifan lokal seperti ini tidak banyak kami dapatkan semasa kecil. Ada harapan dalam benak kami bahwa kami dapat berperan serta mendidik generasi penerus bangsa, calon murid, ini menjadi generasi yang beradab, berharkat, dan bermartabat.
Plesiran ke Kotagede ini seperti merangkaikan
modernitas yang semakin menggejala di Yogyakarta dengan sebuah tempat eksotis
tradisional yang masih memesona. Kami tidak sabar untuk membawa para murid Jalan-Jalan dan Belajar, mengulik masa lalu
Jogja yang menawan.
Tunggu
cerita selanjutnya!!!!Sampai Jumpa dan tetap di JOGJA Istimewa.
WA-85
0 komentar:
Posting Komentar